Pasalnya, setiap kontrak pertambangan yang habis berlakunya, wajib dikembalikan ke pemerintah Indonesia.
Hal itu tegas disampaikan Mantan Menko Kemaritiman Kabinet Kerja Jokowi-JK, Rizal Ramli, sebagaimana pantauan SwaraRakyat di akun media sosial Facebook miliknya.
Ekonom senior itu mencontohkan kebijakan pemerintah terhadap Blok Mahakam pada 2015 silam. Saat itu, pemerintah memutuskan kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesia tidak diperpanjang.
Pengelolaan blok migas itu dialihkan ke PT Pertamina (Persero), meski kontrak Total sebenarnya baru akan berakhir pada 2017.
“Pak Jokowi menerima pengembalian Blok Mahakam dari Total Prancis tahun 2015, dan Blok Rokan di Riau dari Chevron, perusahaan AS. Kemudian memberikan hak pengelolaanya kepada Pertamina. Langkah itu sangat tepat dan bagus,” puji Rizal Ramli.
Oleh sebab itu, Rizal menilai seharusnya pemerintah mengambil langkah yang sama terhadap Freeport.
“Soal Freeport seharusnya berlaku pola yg sama, dikembalikan dulu 100% gratis ke Indonesia tahun 2021,” ujarnya.
Setelah 100 persen menjadi milik Indonesia, menurut Rizal, pengelolaan Freeport nantinya bisa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Kemudian Kontraktor bisa ditunjuk BUMN bekerjasama dgn Freeport atau Rio Tinto. Tidak perlu dibeli 51% dgn ribet dan uang pinjaman yang beresiko tinggi,” tandasnya.
Berdasarkan informasi dari Rizal Ramli, kontrak pertama pemerintah dengan Freeport di draft oleh US AID. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Prof. Sadli (alm).
“Kontrak kedua Freeport yang sangat merugikan Indonesia ditandatangani tahun 1991 oleh Ginanjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan saat itu,” jelas Rizal.
Mengapa Indonesia banyak dirugikan oleh kontrak-kontrak dengan pihak Asing?
“Karena kontrak-kontrak tersebut didraft oleh orang asing seperti Kontrak Freeport 1 dan 2, Letters of Intent IMF. Pejabat yang katanya hebat-hebat bergelar Prof tinggal tanda tangan. Mohon maaf, RR satu-satunya pejabat yang mendraft Revisi LOI thn 2001,” pungkasnya. [SR]