Oleh: Ustad Ansufi Idrus Sambo
(Pengasuh Pesantren Hilal Bogor, Guru dan Sahabat yang mengenal Prabowo sejak 1997 sampai dengan sekarang)
“Saya pernah mengajar beliau mengaji saat beliau di Jordan. Yang saya tahu Pak Prabowo sudah haji dan beberapa kali umroh, bahkan pada akhir Ramadhan 2018 lalu, saya umroh dengan Pak Prabowo, Pak Amien Rais dan rombongan lainnya.”
Tak dapat dipungkiri menjelang Pilpres April 2019, apalagi setelah Reuni Akbar 212 beberapa waktu lalu, terlihat semakin menguat dukungan Umat Islam khususnya dan Rakyat Indonesia pada umumnya, kepada Prabowo-Sandi. Otomatis berimbas pada naiknya elektabilitas pasangan nomor 02 ini.
Di sisi lain, elektabilitas dan dukungan kepada Pasangan JKW-Makruf semakin hari semakin tergerus.
Kenyataan ini membuat pihak petahana semakin panik. Mereka berusaha dengan segala macam cara untuk bisa menyelamatkan pasangan 01 ini dari kekalahan.
Ada indikasi bahwa cara-cara yang dipilih untuk menyelamatkan elektabilitas JKW-Ma’ruf adalah dengan melakukan kecurangan. Ditemukannya puluhan juta DPT palsu dan ganda, mendorong orang gila punya hak suara, intervensi hukum dan pengerahan aparat birokrasi mulai dari menteri hingga ketua RT adalah indikator kecurangan yang kasat mata.
Ini pelanggaran, dan jika dibiarkan akan merusak hajatan demokrasi kita. Sebuah kompetisi yang culas akan melahirkan pemimpin yang culas juga.
Ini semua dilakukan karena ada faktor kepanikan. Kepanikan ini semakin tak mampu ditangani ketika kehadiran cawapres Makruf Amin tak bisa diharapkan jadi 'juru selamat'.
Hadirnya ketua MUI ini tak mampu memberikan efek electoral. Sementara, tekanan atas dosa-dosa Jokowi terkait memburuknya ekonomi, bengkaknya hutang negara dan beban janji yang tak mampu ditunaikan semakin memperburuk situasi.
Pola pencitraan ala pilpres 2014 lalu, kali ini sudah tidak efektif lagi. Gak nendang, kata anak muda sekarang. Kendati hampir semua media maenstream, baik elektronik, cetak maupun online dikuasai dan dikendalikannya.
Sukses Reuni 212, meski tak banyak diliput media maenstrem, justru jadi trigger perlawanan umat, dan bahkan malah jadi tekanan terhadap elektabilitas Jokowi Makruf. Jokowi dan sejumlah media maenstream dianggap sebagai common enemy.
Karena faktor sulitnya menahan laju anjloknya elektabilitas, kepanikan ini diekspresikan juga dengan cara melakukan negatif dan black campign. Mencari-cari celah kelemahan dan kekurangan Pasangan Prabowo-Sandi yang tak terkait dengan urusan kenegaraan.
Gak punya istri-lah, tak bisa ngaji-lah, dan seterusnya. Bahkan kabarnya ada tim khusus yang didanai untuk mengecam, mencaci dan memfitnah Prabowo. Tujuannya? Agar elektabilitas pasangan 02 ini turun.
Cara-cara negatif dan black campignsemacam ini sudah semakin tak efektif. Dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Karena dilakukan pada saat akseptabilitas umat terhadap Prabowo-Sandi sedang menaik.
Negatif dan black campign terhadap Prabowo khususnya, terblock oleh kapasitas dan integritas Prabowo yang mulai tersosialisasikan dengan baik kepada publik.
Yang sedikit agak lucu, ketika tak menemukan kekurangan dan kelemahan Prabowo dan Sandi dari sisi kemampuan dan kecakapan dalam memimpin serta mengelola negara, dilakukanlah fitnah-fitnah yang justru berpotensi akan jadi serangan balik terhadap Jokowi itu sendiri.
Salah satu fitnah dan hoax yang terbaru dan sedang viral saat ini adalah diputar-ulang lagi cerita usang pilpres 2014 yang lalu terkait keber-agama-an & keislaman Prabowo.
Ini tidak saja lucu, tapi cukup menggelikan. Ini petunjuk bahwa pertama, kubu petahana sudah kehilangan narasi. Gak bisa jualan infrastruktur lagi. Karena banyak masalah.
Kedua, berupaya merusak kepercayaan dan hubungan Prabowo dengan ulama dan umat. Tidakkah publik sadar, mengapa ulama dan umat pilih Prabowo? Hal itu karena Prabowo bisa menampung, kerjasama, dan yang terpenting, tidak memusuhi dan mengebiri Islam dan umat Islam.
Jadi, jangan coba-coba mempersoalkan keber-agama-an (sikap beragama) Prabowo, karena gak akan ngaruh kepada umat. Komitmen Prabowo-Sandi yang ditandai dengan ditandatanganinya pakta Integritas dengan ulama (saat Ijtima' Ulama II) inilah yang jadi magnet bagi para ulama dan umat untuk mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Diantara pendukung petahana ada yang gemar melakukan fitnah bahwa Prabowo tidak bisa berwudhu dan sholat. Prabowo tidak berani menjadi Imam Sholat. Lucu bukan? Satu sisi mereka sering meneriaki politik identitas. Tapi disisi lain, sangat aktif memproduksi politik identitas. Paradoks. Aneh!
Bahkan seorang La Nyala berani mengatakan bahwa keislaman Jokowi lebih baik dari Prabowo.
Karena Jokowi dinilainya pandai baca AlQuran dan berani jadi Imam Sholat, walaupun hingga saat ini belum ada bukti bahwa Jokowi pandai baca AlQuran.
Bahkan ada bukti lain yang justru menyatakan hal sebaliknya dan Jokowi berani jadi Imam Sholat ini apakah karena Jokowi memang layak dan memenuhi syarat untuk menjadi Imam atau dia hanya sok berani dan sekedar pencitraan saja. Kedua hal ini akan kita bahas dalam tulisan-tulisan berikutnya, Insya Allah.
Nah, La Nyalla? Apa otoritas dia menilai keislaman dan keimanan seseorang? Pertama, ungkapan ini dilatarbelakangi oleh kebencian dan balas dendam terkait kasus Pilkada Jatim.
Kedua, La Nyalla gak ngerti banyak tentang agama. Bagaimana orang yang awam agama dapat menilai keislaman orang lain?
Berikut ini adalah jawaban dan penjelasan saya selaku saksi dan orang dekat Prabowo terkait fitnah di atas:
Fitnah Prabowo belum pernah haji dan juga tidak bisa baca alif ba ta
Yang saya tahu Pak Prabowo sudah haji dan beberapa kali umroh, bahkan pada akhir Ramadhan 2018 lalu, saya umroh dengan Pak Prabowo, Pak Amien Rais dan rombongan lainnya.
(Ustad Sambo paling kanan, saat menemani Prabowo umroh dan bertemu Imam Besar Habib Rizieq di Makkah)
Mengenai kemampuan beliau dalam membaca huruf-huruf al-Quran, Saya dapat jelaskan bahwa saya pernah mengajar beliau mengaji dan membaca huruf-huruf al-Quran dimulai dari iqra’ saat beliau di Jordan tahun 1998 sampai dengan 1999.
Memang lidah beliau agak berat dalam mengucapkan huruf-huruf al-Quran tersebut. Maklumlah, namanya juga orang dewasa yang belajar di atas usia 50 tahun. Tapi, niat, ikhtiar dan kesungguhan beliau untuk tetap belajar dan mengakui dengan jujur bahwa beliau adalah murid tidak lulus-lulus walau demikian dia masih berusaha untuk belajar, Hal ini merupakan bagian dari komitmen keislaman beliau.
Semoga Allah memaafkan kekurangan-kekurangan beliau dan memberikan pahala atas usahanya dan hidayah untuk terus mau belajar dan belajar, aamiin.
Apakah Prabowo bisa wudhu dan sholat?
Lihat Video berikut ini :
https://youtu.be/Tja3sdEu4CU
Dalam video tersebut Prabowo telah memenuhi kelengkapan syarat dan rukun wudhu. Diawali dari membasuh muka, tangan, kepala, lalu telinga hingga kaki 3x. Secara fiqih sah. Soal mendahulukan anggota wudhu bagian kanan daripada bagian kiri, itu sunah. Jika tak dilakukan, tidak merusak keabsahan wudhu. Karena bukan bagian dari syarat dan rukun wudhu.
Coba dengan jujur kita bandingkan dengan wudhunya Jokowi berikut ini. Cara berwudhunya tidak sempurna, karena tidak membasuh seluruh wajah. Cara berwudhu seperti ini secara fiqih tidak memenuhi syarat keabsahan dalam membasuh muka.
Kurang dari batas minimal yang disyaratkan. Wailul Lil a’qab, kata Nabi. Celaka orang yang membasuh kaki tidak sampai mata kaki (Hadis sahih). Artinya, ketidaksempurnaan dalam membasuh sampai batas minimal anggota wudhu menyebabkan wudhunya tidak sah. Karena wudhu gak sah, maka shalatnya pun juga tidak sah. Sebab, wudhu adalah salah satu syarat sahnya shalat.
Lihat Jejak Digital berikut ini:
https://youtu.be/ads6dwAsCdA
Adapun yang mengatakan Prabowo tidak bisa shalat, itu fitnah besar. Saya sering shalat bersama beliau, baik ketika saya jadi Imam Sholatnya, maupun saat saya jadi makmum. Tidak ada yang salah dari shalat beliau. Saya juga pernah lihat beliau shalat sendiri, dan saya pastikan tidak ada yang salah dari shalatnya beliau. Soal cara duduknya yang tidak sempurna, itupun karena kaki beliau sakit, bekas luka perang saat masih di militer dulu.
Memang, dalam hal Ibadah dan agama, dengan jujur Pak Prabowo mengakui masih kurang ilmu agama dan ibadahnya, dan merasa masih harus terus dan banyak belajar. Beliau tidak lahir dari keluarga santri seperti umumnya para ulama.
Karenanya, beliau tak pernah merasa pintar, lalu sok-sokan menjadi Imam Sholat. Apalagi di situ ada ulama, kiyai, ustaz, atau para penghafal al-Quran. Pantang bagi Pak Prabowo mengambil posisi yang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Su’ul adab. Gak elok. Tahu kapasitas diri.
Ketika Pak Amien, Ustad Salim Segaf, atau Anies Baswedan ada di rumahnya, dan waktu shalat tiba, Pak Prabowo minta kepada mereka untuk jadi imam sholat. Karena mereka yang lebih layak jadi imam shalat karena kefasihan bacaannya, dan kapasitas ilmu agamanya. Pak Prabowo tak perlu merasa malu, segan, apalagi sok-sokan.
Saat ini, Pak Prabowo berada di lingkaran para ulama. Ada Pak Amien Rais, Pak Zulkifli Hasan dari PAN, Ustad Salim Segaf, Shohibul Iman, Ustad Hidayat Nur Wahid dari PKS, Kiyai Irfan dari Jombang, Kiyai Najih Maemoen Zubair, Kiyai Ahfas Lasem, Kiyai Ahmad Wafi Maemoen Zubair, Habib Mahar dan lain-lain. Beliau juga didampingi Sandiaga Uno yang rajin puasa Senin Kamis.
Mudah-mudahan keberadaan saya dan orang-orang dekat Pak Prabowo serta para tokoh Partai Pendukung yang rajin ibadah dapat selalu menjadi motivasi beliau untuk selalu ingat Allah dan lebih giat lagi beribadah.
Mudah-mudahan dengan doa kita semua dan doa para ulama dan rakyat yang mendukungnya, akan membuka pintu langit dan turunnya Rahmat Allah, sehingga membuat Pak Prabowo menjadi muslim yang lebih taat lagi. Menjadi Presiden RI yang insya Allah lebih Adil, Jujur, Amanah, Bijak dan dekat dengan ulama. Aamiin Yaa Allah.
Wallahu a’lam
Sumber: https://inspiratormedia.id/opini/menjawab-keislaman-prabowo/