(Astaghfirullah wa na'udzubillah)
Sungguh perkataan singkat yang amat menusuk dan amat dalam maknanya…
[1] Awal mula tertimpanya keburukan bagi seseorang, apabila dia merasa dirinya sebagai ‘orang baik’
Perkataan beliau ini mengingatkan kita tentang nasehat dari Ummul Mu`miniin ‘Aa`isyah radhiyallaahu ‘anha ketika Rasullullah SAW ditanyُa
Kapan seseorang itu dikatakan buruk?
Sungguh perkataan singkat yang amat menusuk dan amat dalam maknanya…
[1] Awal mula tertimpanya keburukan bagi seseorang, apabila dia merasa dirinya sebagai ‘orang baik’
Perkataan beliau ini mengingatkan kita tentang nasehat dari Ummul Mu`miniin ‘Aa`isyah radhiyallaahu ‘anha ketika Rasullullah SAW ditanyُa
Kapan seseorang itu dikatakan buruk?
Rasulullah SAW menjawab:
Ketika dia menyangka dirinya seorang yang baik.
(At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606)
Benarlah perkataan beliau, awal mula keterperosokan seseorang dalam keburukan, ketika dia menilai dirinya sebagai seorang yang baik. Maka diapun akan mulai merendahkan orang lain. Maka dia pun merasa serba-berkecukupan, sehingga menghalangi dirinya untuk terus memperbaiki segala keburukannya, kesalahannya, kekeliruannya, serta kekurangan-kekurangannya dalam penunaian kebaikan.
(At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606)
Benarlah perkataan beliau, awal mula keterperosokan seseorang dalam keburukan, ketika dia menilai dirinya sebagai seorang yang baik. Maka diapun akan mulai merendahkan orang lain. Maka dia pun merasa serba-berkecukupan, sehingga menghalangi dirinya untuk terus memperbaiki segala keburukannya, kesalahannya, kekeliruannya, serta kekurangan-kekurangannya dalam penunaian kebaikan.
[2] Demikian pula, Seseorang itu sulit mendapatkan ilmu, ketika sudah merasa berilmu.
Fudhayl bin ‘Iyyaadh ditanyakan tentang tawadhu’, maka beliau menjawab:
ُ
"Engkau tunduk dan patuh pada kebenaran, meskipun engkau mendengarnya dari seorang anak kecil; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya. Meskipun engkau mendengarnya dari manusia yang paling bodoh; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya."
(Hilyatul Auliyaa’ 8/91)
Jangan sampai banyaknya pengajian yang telah kita hadiri, banyaknya buku yang telah kita baca, banyaknya nasehat yang kita dapatkan dari saudara seiman kita; tapi itu semua tidaklah menambah keimanan dalam hati-hati kita. Sehingga ketika kita mendapati nasehat, masukan, saran atau kritik dari saudara kita (dan apa yang disampaikan tersebut benar); yang kita nilai level keilmuannya mungkin lebih rendah dari kita; lantas kita malah menolaknya hanya karena hal tersebut. Sehingga kitapun terhalang dari mendapatkan ilmu karena sikap tersebut… Sehingga kitapun menjadi terbelakang, karena sikap tersebut…
[3] Demikian pula, seseorang itu sulit mengakui dan menghadirkan kekurangan amal dirinya, apabila dia telah menyangka amalnya sudah sempurna (apalagi menyangka amalnya sudah diterima); sehingga ia pun enggan memperbaiki kualitas amalnya, apalagi menambahkan kuantitasnya.
Berkata salah seorang ulamaa ketika melihat orang yang mengagumi amalnya:ِ
“Janganlah engkau terpedaya dengan apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya iblis beribadah kepada Allah SWT ribuan tahun, kemudian dia menjadi kafir”
Fudhayl bin ‘Iyyaadh ditanyakan tentang tawadhu’, maka beliau menjawab:
ُ
"Engkau tunduk dan patuh pada kebenaran, meskipun engkau mendengarnya dari seorang anak kecil; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya. Meskipun engkau mendengarnya dari manusia yang paling bodoh; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya."
(Hilyatul Auliyaa’ 8/91)
Jangan sampai banyaknya pengajian yang telah kita hadiri, banyaknya buku yang telah kita baca, banyaknya nasehat yang kita dapatkan dari saudara seiman kita; tapi itu semua tidaklah menambah keimanan dalam hati-hati kita. Sehingga ketika kita mendapati nasehat, masukan, saran atau kritik dari saudara kita (dan apa yang disampaikan tersebut benar); yang kita nilai level keilmuannya mungkin lebih rendah dari kita; lantas kita malah menolaknya hanya karena hal tersebut. Sehingga kitapun terhalang dari mendapatkan ilmu karena sikap tersebut… Sehingga kitapun menjadi terbelakang, karena sikap tersebut…
[3] Demikian pula, seseorang itu sulit mengakui dan menghadirkan kekurangan amal dirinya, apabila dia telah menyangka amalnya sudah sempurna (apalagi menyangka amalnya sudah diterima); sehingga ia pun enggan memperbaiki kualitas amalnya, apalagi menambahkan kuantitasnya.
Berkata salah seorang ulamaa ketika melihat orang yang mengagumi amalnya:ِ
“Janganlah engkau terpedaya dengan apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya iblis beribadah kepada Allah SWT ribuan tahun, kemudian dia menjadi kafir”
(At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606)
Allaahu Akbar. Sungguh menakjubkan perkataan beliau. Alangkah jauhnya beliau dari ketertipuan dan keterpedayaan. Banyaknya amal yang beliau lakukan, tidaklah lantas menjadikan beliau pongah. Kagumnya orang-orang pada amal beliau, tidaklah menjadikan beliau berbangga. Bahkan beliau tetap khawatir dengan dirinya, karena dahulu iblis pun adalah makhluq yang -zhahirnya taat, tapi karena kebusukan niatnya, hingga akhirnya Allah SWT menampakkan hakikatnya ketika dia diuji.
Kita berlindung kepada Allah SWT dari ketertipuan, seraya kita memohon padaNya husnul khaatimah
Allaahu Akbar. Sungguh menakjubkan perkataan beliau. Alangkah jauhnya beliau dari ketertipuan dan keterpedayaan. Banyaknya amal yang beliau lakukan, tidaklah lantas menjadikan beliau pongah. Kagumnya orang-orang pada amal beliau, tidaklah menjadikan beliau berbangga. Bahkan beliau tetap khawatir dengan dirinya, karena dahulu iblis pun adalah makhluq yang -zhahirnya taat, tapi karena kebusukan niatnya, hingga akhirnya Allah SWT menampakkan hakikatnya ketika dia diuji.
Kita berlindung kepada Allah SWT dari ketertipuan, seraya kita memohon padaNya husnul khaatimah