Tito tiba di Ponpes yang diasuh KH Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali) sekitar pukul 16.15. Sejumlah kiai sepuh hadir.
Di antaranya Wakil Rais Am PB NU KH Miftahul Akhyar, Ketua PW NU Jatim KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah, KH Zajuli Hamim (Ponpes Al Falah, Kediri), dan banyak kiai lain.
Hadir pula Gubernur Jatim Soekarwo, Pangdam V/Brawijaya Mayjend TNI Kustanto Widiatmoko, Pangarmatim Laksamana Muda TNI Darwanto, dan Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin.
Beberapa kepala daerah juga hadir sepert Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Dalam sambutannya, Tito menjelaskan pentingnya menguatkan persatuan bangsa dalam kebhinekaan untuk menjaga keutuhan NKRI. Baginya Jatim memiliki sejarah penting bagi bangsa.
Mulai sejarah kemerdekaan hingga kehidupan yang multikultural. "Kita harus bangga hidup dalam keberagaman," jelasnya.
Kejadian di luar Indonesia, lanjut Tito, saat ini begitu memprihatinkan. Bom-bom meledak oleh teroris dan gerakan radikalisme.
Dia menyatakan, keadaan itu tidak akan terjadi jika setiap elemen masyarakat hidup rukun. Bila warga tidak mampu hidup rukun, bukan hanya teroris yang akan masuk ke Indonesia. Peluang perpecahan juga semakin besar.
Untuk menciptakan suasana negara tetap kondusif, ada tiga poin utama yang disampaikan Tito. Pertama, negara harus mampu memperbaiki kondisi internal.
Saat ini, jarak antara yang kaya dan yang miskin masih jauh. Suatu negara dapat dikatakan kuat ketika mayoritas penduduknya berasal dari kalangan menengah.
Mereka yang disebut kalangan menengah adalah kaum yang terdidik, mampu berpikir logis, serta cukup sandang pangan dan papannya.
''Kita tidak bisa menutup mata kalau Indonesia masih belum punya masyarakat kelas menengah yang kuat. Selama ini masih banyak masyarakat kita yang berada di tingkatan low (bawah, Red),” jelasnya.
Kedua, mampu mengelola demokrasi. Menurut Tito, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang sangat bagus. Demokrasi mampu menciptakan sistem pemerintahan yang kuat dan seimbang. Masyarakat juga memiliki potensi lebih besar menentukan arah negara.
Namun, terdapat dampak negatif bila tidak dikelola dengan baik. Kondisi itu dapat menimbulkan konflik. Paham radikal, misalnya. Lalu, politik dan segelintir orang yang menggunakan isu agama dalam berbagai hal sehingga berpotensi menimbulkan gangguan keagamaan.
''Kebhinekaan dan Pancasila itu sudah sangat dinamis. Tidak bisa diganggu gugat. Kebhinekaan mengajak semua pihak terutama umat Islam untuk menjaga bangunan NKRI,” tegasnya.
Ketiga, lanjut Tito, pentingnya nilai-nilai kebersamaan. Nah, selama ini pesantren memiliki peranan sangat penting. Termasuk menjaga kebersamaan dan keharmonisan.
Ditemui wartawan usai memberikan sambutan, Tito menjelaskan, silaturahmi merupakan perkara wajib.
Dia bersama rombongan akan terus melakukan safari serupa ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. "Kakek saya itu lulusan (Ponpes) Tebuireng, jadi Mbah saya itu NU,'' katanya.
Tito enggan menanggapi isu-isu hukum yang sedang terjadi. "Penegakan hukum ada acara sendiri. Beda ya. Ini murni acara silaturahmi. Ini etika keagamaan," ujar mantan Kapolda Metro Jaya itu.
Sementara itu, Gus Ali menyatakan, Ramadan merupakan kesempatan untuk mawas diri, bermuhasabah dan senantiasa melihat kebaikan orang lain. ''Cerdas melihat kekurangan diri sendiri," ujarnya.
Dikatakan, belajar berpikir positif adalah sangat penting. Barang siapa ingin menjadi orang besar maka harus berjiwa besar dan berpikir besar.
"Jayalah bangsaku, jayalah negeriku, kita harus bangga jadi orang Indonesia dan mukmin," pungkasnya. (jos)
Sumber: http://ift.tt/2rkmJMO